Seorang saudara yang berkorban untuk mewujudkan mimpi dan cita-cita saudaranya yang lain
Lukisan Tangan Berdoa, sering kita lihat di sticker postingan grup WA, ternyata adalah lukisan Albrecht Durer yang luar biasa; membuat orang terkesan dengan gambar tangan ini, bahkan sebelum mendengar kisahnya.
Tak heran Michael Angelo pernah berkata: "Saya rela mati demi meninggalkan karya yang besar" dan William James berkata: "Kalau anda mau mati meninggalkan karya yang besar tinggalkanlah karya yang abadi."
Tetapi apa itu yang abadi?
Berikut adalah kisah di balik lukisan Tangan Berdoa:
Di sebuah desa kecil dekat Nürnberg, Jerman, di abad 15, hiduplah sebuah keluarga dengan anak-anaknya yang berjumlah 18.
Ya, delapan belas! Sang ayah, seorang pedagang emas, bekerja hampir delapan belas jam sehari di tokonya untuk menghidupi keluarganya. Apa saja yang berguna dan menghasilkan uang ia kerjakan.
Walaupun kondisi keluarga itu senin-kamis, nyaris tanpa harapan, dua anak sulungnya mempunyai cita-cita tinggi. Albrecht Durer dan adiknya Albert Durer bercita-cita suatu saat kelak mereka akan menjadi seniman terkenal, kuliah di akademi tinggi di Nürnberg, walau pun mereka tahu ayah mereka secara finansial tidak akan mampu membiayai kuliah di sana.
Setelah diskusi yang panjang di suatu malam di tempat tidur mereka yang penuh sesak, kedua anak laki-laki tertua ini akhirnya membuat kesepakatan. Mereka akan melemparkan sebuah koin.
Yang menang, dialah yang melanjuntukan studi ke akademi untuk mengejar impian menjadi seniman terkenal.
Yang kalah akan tetap tinggal di kampung halaman, bekerja di pertambangan di dekat rumah mereka, dan dengan penghasilannya dari bekerja itu, membiayai kuliah saudaranya yang akan menjadi seniman hebat.
Diharapkan, setelah kuliah empat tahun, sang seniman besar itu sudah bisa kembali dan membiayai adik-adiknya yang lain.
Mereka melemparkan koin. Hasilnya? Albrecht Durer memenangkan undian, dan singkat kata dia kuliah di akademi di Nürnberg. Albert tinggal di kampung halaman dan bekerja sebagai buruh tambang, pekerjaan yang cukup berbahaya kala itu.
Selama empat tahun ke depan, ia membiayai saudaranya yang menempuh pendidikan di akademi.
Di akademi, Albrecht ternyata menjadi bintang. Lukisan-lukisannya, ukiran kayunya dan lukisan minyaknya jauh lebih baik daripada karya para profesornya. Dan pada saat ia lulus, ia mendapat cukup banyak uang atas karya-karyanya.
Ketika seniman muda itu kembali ke desanya, keluarga Durer mengadakan pesta makan malam di halaman rumah mereka untuk merayakan kepulangan Albrecht.
Setelah makan malam yang panjang dan berkesan, diselingi dengan musik dan tawa, Albrecht bangkit dari posisi terhormat di ujung meja untuk bersulang bagi adik tercintanya, atas tahun-tahun pengorbanan yang memungkinkan Albrecht memenuhi ambisinya.
Di akhir pidataunya, Albrecht berkata, "Sekarang, Albert, saudaraku yang sangat disayangi Tuhan, giliranmu lah. Sekarang engkau sudah punya kesempatan berangkat ke akademi di Nürnberg untuk mengejar impianmu, dan saya akan mengurus semua yang kau perlukan."
Semua kepala berpaling ke ujung meja tempat Albert duduk. Air mata mengalir di wajahnya yang pucat, menggelengkan kepalanya sementara ia menangis dan berkata berulang-ulang, "Tidak..., tidak..., tidak..., tidak...!"
Albert bangkit dan menyeka air mata dari pipinya. Dia melirik wajah-wajah yang dicintainya di meja panjang tersebut, dan kemudian, memegang tangannya dekat dengan pipi kanan, ia berkata pelan, "Tidak, saudaraku, saya tidak bisa pergi ke Nürnberg. Sudah terlambat untuk saya. Lihatlah..., lihat apa yang saya dapatkan selama empat tahun bekerja di tambang. Tulang di setiap jari saya telah hancur. Dan akhir-akhir ini saya telah menderita rheumatauid begitu parah di tangankanan saya, sehingga untuk memegang gelas dan bersulang kembali untukmu pun aku tak bisa. Apalagi untuk memegang kuas dan melukis garis-garis halus di kanvas. Bagi saya itu sudah terlambat."
Kini, hampir lima abad sudah berlalu. Ribuan lukisan potret dan karya lainnya dari Albrecht Durer telah beredar dan menghiasi banyak dinding dan ruang di seluruh dunia.
Dan hampir dapat dipastikan, sebagian besar orang pernah melihat, bahkan mungkin memiliki reproduksi dari salah satu lukisannya yang sangat terkenal, yakni gambar yang diberi judul: The Praying Hands. Tangan Yang Berdoa.
Untuk memberi penghormatan kepada Albert atas semua yang telah dikorbankannya, Albrecht Durer dengan susah payah menghela tangan adiknya itu, meluruskan jari-jarinya dan kemudian melukisnya.
Ia memberi judul lukisan itu "Hands," tetapi seluruh dunia melihat lukisan itu jauh dari sekadar 'Hands' melainkan suatu persembahan cinta yang tulus, tangan yang berkorban dan memohon.
Itulah sebabnya lukisan itu lebih dikenal dengan judul "The Praying Hands." Tangan yang bekerja, berkorban demi mewujudkan sebuah cita-cita dan doa.
Itulah Tangan Yang Berdoa.