Kakak beradik akan tetap menjadi kakak beradik sampai akhir kehidupan, saling dukung untuk berjalan beriringan menapak kehidupan
Drrttt..., drrttt..., drrrtttt....
Ponselku berdering, bergegas aku meraih benda pipih kesayanganku yang tak lagi bisa berdering sempurna tersebut di atas televisi.
Kak Nilam memanggil. Kuusap layar yang telah buram sesaat, sebelum mengangkat panggilan dari kakak tertuaku.
"Assalamu'alaimum kak," sapaku terlebih dahulu.
"Walaikumsallam Lisa. Besok, aku sama Ferdi mau ke sana. Kangen sama rumah lama," sahut Kak Nilam langsung memberi kabar yang membuat aku termangu.
Setelah kepergian ibu 3 tahun silam, ini kali pertama kakak dan adikku yang kehidupannya telah sukses di kota menyambangiku kembali.
Dulu aku memilih menetap di kampung demi menjaga ibu yang telah sepuh. Sampai akhirnya aku menikah dengan mas Waris yang berasal dari satu kampung.
"Lisa? Kamu masih di situ, kan?"
"Eh, i-iya kak. Iya. Besok aku akan masakin makanan yang pasti Kak Nilam dan Ferdi suka," sahutku berusaha ceria.
"Makasih ya Lis!"
Setelah bertukar salam, aku meletakkan ponsel kembali di atas televisi. Hatiku dilanda resah. Beras untuk makan kami berempat hanya tersisa untuk besok saja. Bila Kak Nilam dan Ferdi datang sekeluarga, itu artinya akan bertambah dua kali lipat.
Mas Waris hanya seorang pekerja serabutan. Sudah seminggu ia belum bekerja. Kadang ajakan kerja ada, tapi jarak tempuh jauh, sedangkan kendaraan yang kami miliki hanya sebuah sepeda tua. Bila sudah begini, untuk biaya hidup kami, aku tak segan menyusuri sungai kecil dan rawa-rawa.
Mengais rejeki dengan memetik kangkung dan genjer yang tumbuh di tepi sungai dan rawa untuk diikat, lalu kutawarkan pada warga kampung adalah yang lumrah bagiku. Tak banyak memang hasilnya, tapi cukup sekadar untuk membeli beras.
"Mas, besok kak Nilam dan Ferdi mau datang," ucapku pada mas Waris yang sedang membolak-balik tanah pekarangan yang sempit dengan cangkul untuk menanam cabai dan tomat.
Mas Waris menatapku sesaat, lalu meletakkan cangkul. Seolah mengerti kerisauanku, dia berkata, "aku akan periksa bubu di sungai."
Aku mengangguk dan menatap punggung pejuang nafkahku itu hingga kejauhan. Untuk lauk, kami memang selalu mengandalkan hasil perangkap ikan bernama 'bubu' yang dipasang di sungai.
Pandanganku kini beralih pada dua ekor ayam jantan kesayangan Widan, anak bungsuku yang berusia 6 tahun. Bergegas aku ke kamarnya.
"Nak, besok Indah sama Faris mau datang. Boleh enggak, ayamnya ibu tukar sama beras dulu? Nanti kalau ada uang, ibu beli ayam yang baru?" kuusap lembut kepala anakku sambil bertanya.
Wildan menatapku sebentar, lalu mengangguk. Mendengar sepupunya yang sebaya akan datang saja, dia sudah sangat senang.
"Terima kasih Nak," kucium penuh haru pucuk kepala anakku.
Tanpa pikir panjang aku langsung menangkap dua ekor ayam jago tersebut, lalu membawa ke warung sembako terdekat.
Setelah tawar menawar sebentar, akhirnya aku berhasil membawa pulang beras sebanyak 5 kg, bawang merah, bawang putih, minyak goreng, telur, gula, teh dan kopi secukupnya. Tak lupa kubeli beberapa bungkus jajan untuk menyambut keponakanku besok.
Keesokan harinya, Kak Nilam dan Ferdi benar-benar datang dengan mengendarai mobil masing-masing. Aku tersenyum bahagia dengan pencapaian dua saudaraku tersebut. Istri Ferdi seorang wanita karir, dan suami Kak Nilam seorang pengusaha sukses.
Wajar jika dulu mereka berdua langsung menyerahkan begitu saja rumah peninggalan orang tua kami beserta seluruh isinya padaku dan mas Waris.
Walau terbersit rasa minder, namun aku tetap menyambut kedua saudaraku yang datang tepat di jam makan siang tersebut dengan senyum lebar. Aku langsung mengajak mereka bersantap dengan menu yang sangat sederhana.
Ikan gabus dan telur bumbu bali, tumis kangkung, kulupan jantung pisang, dan ikan puyu bakar dilengapi cacapan mangga muda rupanya menggugah selera kedua saudaraku. Beruntung, keponakanku dari kota juga menyukai makanan ala desa yang kusuguhkan.
"Berasa makan masakan ibu," gumam Ferdi setelah makan.
Aku dan kak Nilam tersenyum. Dulu menu yang kusuguhkan memang akrab dengan mereka berdua saat kami masih tinggal bersama.
Usai makan siang, Kak Nilam dan Ferdi berjalan-jalan sambil mengenang masa kecil mereka dengan tetangga sekitar. Anak-anak kami pun bercengkrama hingga sore hari.
Malam hari, kami melanjutkan obrolan dengan bernostalgia mengenang saat-saat kedua orang tua kami masih lengkap. Sesekali Ferdi dan Kak Nilam bertanya tentang kegiatan mas Waris.
Keesokan paginya, Kak Nilam dan Ferdi sudah siap-siap kembali ke kota. Malu-malu aku menyuguhkan sarapan nasi goreng putih seadanya dan telur dadar sebelum mereka pulang.
Tapi Kak Nilam dan Ferdi begitu senang menikmati makanan, yang selalu mereka kaitkan dengan masakan ibu. Ya, dulu itu memang menu sarapan andalan kami sebelum berangkat sekolah.
Ah, aku begitu terharu. Kak Nilam dan Ferdi, membuat aku yang tak punya apa-apa ini merasa begitu dihargai. Sayangnya, tak ada apa-apa yang bisa kuberikan pada mereka sebagai oleh-oleh layaknya orang yang baru saja pulang kampung.
Saat hendak pulang, Susan, anak Kak Nilam merengek ingin membawa satu-satunya boneka kesayangan Dila anak pertamaku. Dila langsung merelakan bonekanya dibawa oleh Susan. Aku senang, karena masih ada yang bisa kuberikan pada keponakanku yang tak kurang apapun itu.
Aku melepas kepergian kedua saudaraku dengan air mata berlinang. Sungguh, aku masih rindu. Dulu, dengan selisih usia masing-masing 2 tahun, tak ada hari yang terlewatkan tanpa pertengkaran antara kami bertiga. Tapi itulah cara kami bertiga berbagi kasih sayang.
Aku berbalik membawa kesedihanku ke rumah. Dila dan Wildan pun banyak diam. Aku merasa bersalah, karena mengorbankan ayam kesayangan Wildan, dan boneka Dila. Aku janji, akan mengganti secepatnya bila ada rejeki nanti.
Beberapa saat kemudian, pintu rumah diketuk. Pak Zainal, pemilik warung langgananku datang menyerahkan sebuah kardus besar, lalu menurunkan dua karung beras dengan bobot masing-masing 20 kg, dari sepeda motornya.
"Buat siapa ini Pak?" tanyaku heran.
"Ya buat mbak Lisa, toh. Kemaren kakaknya Mbak jalan-jalan ke warung, dan beli ini semua katanya titip buat Lisa. Tapi pesannya kalau mereka sudah pulang baru boleh saya antar."
Hanya ucapan terima kasih yang mampu kuucapkan setelah mendengar jawaban dari pak Zainal.
Selanjutnya, air mata jatuh tanpa bisa kukendalikan melihat isi kardus. Sembako lengkap, cukup bahkan lebih bagiku yang terbiasa irit untuk hidup sebulan ke depan.
Aku menelpon dan mengucapkan terima kasih pada adik dan kakakku bergantian, sambil terisak.
Dua hari kemudian, sebuah mobil pick up berwarna hitam singgah di depan rumah, dan tiga orang dengan cekatan menurunkan sebuah sepeda motor bekas tapi masih sangat layak pakai, dan sebuah kardus.
Aku tercengang saat pengantar barang mengatakan titipan dari Ferdi dan Kak Nilam.
Sebuah kardus dengan tulisan untuk Dila dan Wildan langsung di serbu oleh kedua anakku.
Aku sendiri langsung meraih ponsel ingin menelpon kedua saudaraku. Tapi, terlebih dahulu pesan dari mereka berdua masuk.
[Istriku beli motor baru, daripada yang satu tidak terpakai mungkin bisa digunakan oleh kak Waris kerja, atau ngantar kakak kemana-mana] pesan dari Ferdi.
Ah, adik kecilku itu, dia hanya tak mau mengakui terang-terangan bahwa kasihan padaku, kakak yang dulu sering membuatnya menangis karena kalah saat rebutan jajan, walau akhirnya tetap lebih banyak untuk Ferdi.
Dengan tangan gemetar kubalas pesannya. Aku lupa niatku tadi menelpon.
[Tapi ini mahal, Fer. Apa istrimu enggak keberatan?]
[Enggak kak. Itu engga ada apa-apanya dibanding waktu dan tenaga yang kakak habiskan, dua tahun mengurus ibu sakit seorang diri dulu] balasan dari Ferdi yang membuatku luruh dalam tangis haru. Mas Waris pun ikut menitikkan air mata di sebelahku.
Aku menoleh pada kedua anakku di samping kardus tersebut berisi 3 boneka baru, dan beberapa lembar baju untuk mereka berdua. Kubuka pesan dari Kak Nilam.
[Kemaren Susan sama Rudi jalan-jalan ke Mall. Banyak barang diskonan, jadi beli sekalian buat Dila dan Wildan. Dan anting itu, aku sudah bosan sama modelnya. Kayaknya cocok di telingamu]
Aku tertegun. Anting? Kurogoh bagian bawah di dalam kardus, dan benar ada sebuah kotak kecil. Tanganku gemetar membuka kotak tersebut. Ini anting Kak Nilam yang dia pakai saat kesini kemaren. Aku segera menelponnya.
"Kak, apa-apaan ini. Ini anting mahal. Yang kerja kak Rahman bukan kakak. Ini berlebihan. Nanti kukembalikan aja," tolakku benar-benar sungkan pada suaminya walau aku tahu, harga benda tersebut mungkin hanya senilai uang jajan anak kak Nilam sebulan.
"Kalau kamu mau kembalikan, berarti kamu enggak anggap aku kakakmu? Bukankah kakak memang harus berbagi dengan adiknya? Kamu lupa, dulu aku sering mengambil jatah uang sakumu dan membuat ibu marah? Kata ibu, kakak itu harusnya memberi adiknya, bukan mengambil!" ucap kak Nilam sambil tertawa kecil kembali mengingat masa kecil kami.
Aku tak kuasa menahan air mata. Setelah mengucapkan terima kasih, aku langsung menutup sambungan telpon dan menumpahkan tangis bahagia sambil memeluk kedua anakku.
Terngiang kembali ucapan ibu sewaktu kami bertiga sering bertengkar dulu.
"Terus saja betengkar, nanti kalau kalian sudah punya keluarga masing-masing dan saling berjauhan, baru kalian tahu apa artinya saudara."
Dan kini aku tahu, bahwa saudara kandung itu lebih berharga daripada harta dan tahta.
Kakak beradik...,
Dilahirkan dari rahim yang sama.
Dibesarkan dengan makanan yang sama.
Tinggal di dalam rumah yang sama.
Namun di atas nasib dan takdir yang berbeda.
Saudara yang hidup dalam kekurangan belum tentu ujian untuk hidupnya sendiri.
Bisa jadi kekurangannya juga ujian bagi saudaranya yang lebih mapan.
Ujian untuk melihat, apakah yang mapan akan membentang jarak lalu melambaikan tangan dan menjauh, atau sebaliknya memangkas jarak lalu mengulurkan tangan, hingga keduanya bisa berdiri sejajar.